Stres, Depresi, dan Kecemasan: Wajah Lain Jakarta yang Jarang Dibahas

 

pinterest.com

Jakarta, sebagai pusat ekonomi dan kehidupan urban di Indonesia, menghadapi tantangan serius dalam bidang kesehatan mental. Kota ini dipenuhi dengan tekanan kerja yang tinggi, kemacetan ekstrem, dan gaya hidup yang serba cepat—semua faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya masalah kesehatan mental di kalangan penduduknya.  

Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan, sekitar 6,1% penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional, termasuk di Jakarta. Selain itu, survei dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah kasus gangguan kecemasan dan depresi pasca pandemi COVID-19. Namun, stigma dan akses layanan kesehatan mental yang terbatas masih menjadi hambatan utama bagi mereka yang membutuhkan bantuan.  

Pandemi COVID-19 telah membawa dampak signifikan pada kesehatan mental masyarakat Jakarta. Isolasi sosial, kehilangan pekerjaan, dan tekanan ekonomi memperburuk kondisi mental banyak orang. Data dari Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa jumlah konsultasi kesehatan mental di Jakarta meningkat lebih dari 30% sejak awal pandemi.  

Salah satu kelompok yang paling rentan terhadap masalah ini adalah pekerja kantoran. Sebuah studi dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) menunjukkan bahwa 42% pekerja di Jakarta mengalami stres tinggi akibat tekanan kerja dan kurangnya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.  

Selain itu, remaja dan mahasiswa di Jakarta juga menjadi kelompok yang rentan. Tekanan akademik, ekspektasi sosial, serta pengaruh media sosial yang semakin dominan membuat mereka lebih mudah mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Sebuah survei dari UNICEF Indonesia mengungkapkan bahwa satu dari tiga remaja di Jakarta mengalami masalah kesehatan mental, dengan banyak di antaranya tidak mendapatkan bantuan profesional.  

Meskipun angka gangguan mental meningkat, masih banyak masyarakat Jakarta yang enggan mencari bantuan profesional. Salah satu alasan utama adalah stigma yang melekat pada gangguan mental. Banyak orang masih menganggap kesehatan mental sebagai sesuatu yang tabu atau sebagai tanda kelemahan, sehingga mereka memilih untuk menutupi masalah mereka daripada mencari pertolongan.  

Selain stigma, akses terhadap layanan kesehatan mental di Jakarta juga masih terbatas. Saat ini, jumlah psikiater dan psikolog yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang membutuhkan. Data dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menunjukkan bahwa rasio psikiater di Jakarta hanya sekitar 1 per 100.000 penduduk, angka yang jauh dari standar yang direkomendasikan oleh WHO.  

Biaya layanan kesehatan mental yang relatif mahal juga menjadi kendala bagi banyak orang. Konsultasi dengan psikolog atau psikiater di rumah sakit swasta di Jakarta bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah per sesi, membuat banyak masyarakat kelas menengah dan bawah kesulitan mengakses layanan ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antrean Panjang di Donut & Drinks Blok M Square: Sensasi Rasa yang Bikin Antrean Tak Pernah Sepi

Ary Ginanjar, Pandu Langsung Training ESQ Hypnotherapy Basic Program 2025

5 Minuman yang Bisa Meredakan Kecemasan, Enak dan Bikin Tenang