Kampanye 'Ice Bucket Challenge' Kembali, Kini Angkat Isu Kesehatan
Setelah sempat viral secara global pada tahun 2014 sebagai kampanye penggalangan dana untuk penyakit ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), tantangan menyiramkan seember air es ke kepala atau Ice Bucket Challenge kini hadir kembali. Namun kali ini, kampanye tersebut membawa misi baru: meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan mental.
Dengan pendekatan yang sama—mengundang partisipasi masyarakat dari berbagai kalangan—*Ice Bucket Challenge* versi 2025 kembali mencuri perhatian publik, terutama di media sosial. Bedanya, tantangan yang dulu bersifat donasi dan hiburan kini dikemas lebih reflektif, mengusung pesan solidaritas kepada mereka yang sedang berjuang menghadapi gangguan kesehatan mental.
Kampanye Simbolis untuk Isu Serius
Tantangan ini kembali mencuat ke permukaan sejak awal Mei 2025, bertepatan dengan peringatan Mental Health Awareness Month secara global. Melalui video singkat berdurasi 15–30 detik, peserta diminta menyiramkan air es ke kepala mereka sambil menyampaikan pesan singkat tentang pentingnya menjaga kesehatan mental atau dukungan terhadap orang-orang yang sedang berjuang.
Dalam beberapa video, tampak tokoh publik, influencer, bahkan siswa sekolah turut berpartisipasi. Mereka menyuarakan kalimat-kalimat motivasi seperti "You are not alone," atau "Mental health matters more than you think."
Menurut Inisiator Kampanye Nasional Kesehatan Jiwa (KNKJ), Rina Pratiwi, kembalinya Ice Bucket Challenge dengan fokus baru ini merupakan inisiatif global yang sangat relevan dengan kondisi masyarakat pascapandemi.
“Selama pandemi dan sesudahnya, masalah kesehatan mental seperti kecemasan, stres berat, dan depresi meningkat drastis. Tantangan ini adalah simbol bahwa kita peduli, dan siap ‘terjun’ untuk mendukung sesama,” ujarnya saat diwawancarai di Jakarta.
Dari Simpati ke Empati
Tak hanya menjadi simbol kepedulian, kampanye ini juga diharapkan mampu mengubah cara pandang masyarakat terhadap isu kejiwaan. Menurut data WHO, satu dari delapan orang di dunia hidup dengan gangguan kesehatan mental. Di Indonesia, angka tersebut terus naik setiap tahun, namun masih banyak yang enggan mencari bantuan karena stigma.
“Banyak yang masih merasa malu untuk pergi ke psikolog atau takut dicap ‘gila’. Lewat kampanye ini, kita ingin menunjukkan bahwa tidak apa-apa untuk merasa lelah, tidak apa-apa untuk minta bantuan,” kata Rina.
Beberapa komunitas kesehatan mental juga mulai aktif merangkul kampanye ini. Salah satunya adalah komunitas Sehat Jiwa, yang menggelar Ice Bucket Gathering di Taman Menteng, Jakarta Pusat. Acara tersebut diikuti puluhan anak muda yang selain ikut tantangan, juga berbagi cerita dan mengikuti sesi edukasi tentang depresi, burnout, dan cara mencari bantuan profesional.
Partisipasi Figur Publik dan Tokoh Nasional
Sejumlah tokoh publik juga menunjukkan dukungan mereka. Aktor Reza Rahadian, dalam unggahan videonya di Instagram, menyiramkan air es ke kepalanya sambil berkata, “Kadang hidup terasa dingin dan menyakitkan. Tapi kita bisa hadapi bersama. Jangan ragu bicara.”
Unggahan itu mendapat lebih dari 100 ribu likes dan ribuan komentar positif. Tak sedikit warganet yang ikut tertantang untuk melakukan hal serupa. Sementara itu, Menteri Kesehatan RI, dr. Nadya Mulya, juga mengapresiasi kampanye ini dan mengimbau masyarakat untuk tidak menyepelekan gejala stres dan kelelahan emosional.
“Penting untuk mengenali tanda-tanda awal gangguan mental seperti sulit tidur, kehilangan semangat, atau mudah marah. Kesehatan mental adalah bagian dari kesehatan tubuh yang harus dijaga,” katanya dalam konferensi pers.
Tantangan Viral yang Punya Dampak Nyata
Di balik kesederhanaannya, kampanye ini mulai menampakkan dampak positif. Beberapa layanan konseling online seperti Pulih\@ThePeak, Riliv, dan Kalm melaporkan kenaikan jumlah pendaftaran hingga 30 persen sejak awal bulan ini. Mayoritas dari mereka adalah anak muda berusia 18–30 tahun.
“Salah satu alasan orang mulai mencari bantuan adalah karena mereka merasa tidak sendirian. Kampanye seperti ini membuat mereka merasa diterima dan didengarkan,” jelas Aulia Fadhilah, psikolog klinis di Jakarta.
Ia juga menekankan pentingnya kesinambungan kampanye ini. Menurutnya, selain aksi simbolik seperti menyiram air es, dibutuhkan dukungan nyata berupa edukasi berkelanjutan, akses layanan psikolog yang mudah, dan kebijakan pemerintah yang melindungi pekerja dan pelajar dari tekanan berlebihan.
Lebih dari Sekadar Tren
Meskipun banyak tantangan daring hanya berakhir sebagai tren sesaat, Ice Bucket Challenge tahun ini membawa pesan yang dalam dan relevan. Kampanye ini mengingatkan bahwa di balik senyum seseorang, bisa saja tersembunyi beban yang berat. Dan dengan dukungan sosial, keterbukaan, serta kesediaan mendengar, kita bisa menjadi bagian dari proses pemulihan mereka.
“Jangan hanya ikut-ikutan. Jika kamu merasa baik-baik saja, gunakan kesempatan ini untuk membuka ruang bagi mereka yang tidak baik-baik saja,” ujar Reza Rahadian dalam pernyataan lanjutan di akun media sosialnya.
Ice Bucket Challenge telah berevolusi dari aksi lucu-lucuan menjadi simbol perjuangan melawan sunyi dan stigma. Melalui guyuran air es yang menyegarkan, kampanye ini mengirim pesan hangat: kita semua punya peran dalam mendukung kesehatan mental, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Jika Anda merasa butuh bantuan, jangan ragu untuk bicara. Dan jika Anda merasa mampu membantu, lakukan sesuatu—walau hanya dengan mendengarkan.

Komentar
Posting Komentar