Perubahan Iklim dan Dampaknya terhadap Kesehatan Mental Perempuan: Suara dari Pita Putih Indonesia

 

antaranews.com


Perubahan iklim tak hanya berdampak pada lingkungan dan ekonomi, tetapi juga membawa konsekuensi yang dalam pada kehidupan manusia, terutama perempuan dan anak-anak. Ketua Umum Pita Putih Indonesia (PPI), Giwo Rubianto Wiyogo, menyuarakan keprihatinannya terhadap dampak perubahan iklim terhadap kesehatan mental dan fisik perempuan, sebuah isu yang masih jarang mendapat perhatian luas.


Dalam berbagai kesempatan, Giwo menekankan bahwa perempuan berada di garis depan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Mereka bukan hanya korban, tetapi juga aktor penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Sayangnya, beban ganda yang diemban oleh perempuan membuat mereka rentan terhadap gangguan kesehatan mental.


Perempuan di Tengah Krisis Iklim


Banyak perempuan di Indonesia yang berperan sebagai pengelola rumah tangga, penjaga sumber air, dan pencari makanan untuk keluarga. Ketika kekeringan melanda atau banjir bandang menghancurkan lahan pertanian, perempuanlah yang pertama kali merasakan dampaknya. Dalam kondisi darurat seperti ini, tekanan psikologis meningkat drastis. Kecemasan akan keberlangsungan hidup keluarga, rasa kehilangan, serta ketidakpastian masa depan bisa memicu stres berkepanjangan, bahkan depresi.


“Kita harus melihat perubahan iklim tidak hanya sebagai isu lingkungan, tapi juga sebagai isu kesehatan publik, khususnya kesehatan mental perempuan,” ujar Giwo dalam sebuah diskusi nasional tentang perempuan dan perubahan iklim.


Anak-anak Juga Terancam


Tak hanya perempuan dewasa, anak-anak – terutama anak perempuan – juga sangat terdampak. Perubahan iklim yang mengganggu rutinitas kehidupan, pendidikan, hingga tempat tinggal, dapat menimbulkan trauma jangka panjang. Anak-anak yang kehilangan tempat tinggal akibat bencana iklim seperti banjir atau longsor, sering kali mengalami gangguan emosional, ketakutan, dan kehilangan rasa aman.


Menurut data dari berbagai organisasi internasional, perempuan dan anak-anak lebih berisiko mengalami gangguan psikologis pascabencana dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan oleh kerentanan biologis dan sosial yang melekat, serta peran ganda yang harus mereka jalankan dalam kondisi krisis.


Perlu Pendekatan Multidimensi


Giwo Rubianto menekankan pentingnya pendekatan multidimensi dalam merespons isu ini. Perubahan iklim tidak dapat dilihat hanya sebagai fenomena cuaca ekstrem, tetapi juga sebagai tantangan sosial dan kemanusiaan yang menyeluruh.


“Kita perlu mengintegrasikan isu kesehatan mental ke dalam kebijakan penanganan perubahan iklim. Program-program adaptasi dan mitigasi harus ramah terhadap kebutuhan perempuan dan anak-anak,” ujarnya.


Ia juga mendorong adanya pelatihan psikososial di tingkat komunitas, terutama di wilayah yang rawan bencana. Dengan pelatihan ini, perempuan bisa diberdayakan untuk menjadi agen ketangguhan di lingkungan masing-masing. Mereka tidak hanya menjadi penerima bantuan, tetapi juga penggerak pemulihan pascabencana.


Peran Pita Putih Indonesia


Sebagai organisasi yang fokus pada hak-hak perempuan dan anak, Pita Putih Indonesia aktif mengkampanyekan pentingnya kesetaraan gender dalam kebijakan iklim. Mereka menyelenggarakan pelatihan, diskusi publik, hingga kampanye kesadaran tentang dampak perubahan iklim terhadap kesejahteraan perempuan.


Dalam beberapa programnya, PPI juga menggandeng komunitas lokal untuk membentuk kelompok pendukung yang fokus pada kesehatan mental. Kelompok ini berfungsi sebagai ruang aman bagi perempuan untuk saling berbagi, menguatkan, dan mendapatkan akses ke layanan kesehatan jiwa.


“Banyak perempuan merasa sendiri dalam menghadapi tekanan yang datang bertubi-tubi. Padahal, dengan adanya komunitas yang saling mendukung, mereka bisa bangkit lebih cepat,” jelas Giwo.


Harapan untuk Kebijakan yang Lebih Inklusif


Giwo mengajak semua pihak—pemerintah, organisasi masyarakat sipil, hingga dunia usaha—untuk bersama-sama menciptakan kebijakan yang lebih inklusif. Menurutnya, isu kesehatan mental harus menjadi prioritas dalam setiap strategi penanganan perubahan iklim.


Ia mencontohkan pentingnya menyediakan ruang konseling di lokasi pengungsian, membentuk sistem pendukung berbasis komunitas, serta melibatkan perempuan dalam proses pengambilan keputusan tentang kebijakan lingkungan.


“Perempuan harus dilibatkan sejak awal dalam perencanaan kebijakan. Suara mereka penting, karena mereka merasakan dampaknya secara langsung,” tegasnya.


Sebuah Panggilan untuk Bertindak


Isu perubahan iklim memang kompleks dan luas, namun dari cerita-cerita di lapangan, kita bisa melihat betapa nyata dampaknya terhadap individu, terutama perempuan. Kesehatan mental bukan lagi isu pinggiran, melainkan bagian penting dari ketahanan masyarakat terhadap krisis iklim.


Apa yang disuarakan oleh Giwo Rubianto Wiyogo dan Pita Putih Indonesia adalah panggilan bagi semua pihak untuk tidak abai terhadap dimensi kemanusiaan dari perubahan iklim. Dengan pendekatan yang inklusif dan responsif gender, kita tidak hanya menjaga bumi, tetapi juga melindungi kehidupan dan kesejahteraan jutaan perempuan dan anak-anak di seluruh dunia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antrean Panjang di Donut & Drinks Blok M Square: Sensasi Rasa yang Bikin Antrean Tak Pernah Sepi

Ary Ginanjar, Pandu Langsung Training ESQ Hypnotherapy Basic Program 2025

5 Minuman yang Bisa Meredakan Kecemasan, Enak dan Bikin Tenang